Tingkatan yang Sudah Ma'rifat, Tidak Lagi Ibadah, Benarkah?


Image from mozaik.com

Keyakinan bahwa orang yang sudah menduduki tingkatan ma'rifat sudah tidak lagi jalankan ibadah.

Lantas benarkah persepsi banyak orang ini ?

Beribadah sampai yakin? Apa maksudnya? Apakah maksudnya beribadah sampai tingkatan ma’rifat? Jika sampai tingkatan tersebut, maka tidak ada lagi kewajiban untuk beribadah pada Allah seperti yang diyakini oleh kaum sufi.

Makna Yakin dalam Ayat adalah Kematian

Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan beribadahlah pada Allah sampai datang kepada kalian yakin (ajal atau kematian).”(QS. Al-Hijr: 99)

Dalam Tafsir Al-Jalalain disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan al-yaqin adalah al-maut (kematian).

Hal yang sama disebutkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), yang dimaksud dengan al-yaqin dalam ayat adalah al-maut yaitu kematian. Maksudnya adalah diperintahkan beribadah setiap waktu kepada Allah dengan berbagai macam ibadah.

Seperti yang dilansir oleh rumaysho.com, Bukhari berkata dari Salim, al-yaqin dalam ayat bermakna al-maut (kematian). Yang mengartikan seperti itu di antaranya adalah Salim bin ‘Abdillah, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Ini yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

Al-yaqin diartikan dengan kematian didukung oleh firman Allah Ta’ala,

لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Mudattsir: 43-47)

Dari ayat tersebut diambil kesimpulan bahwa shalat dan lainnya wajib dilakukan terus menerus pada Allah selama akalnya masih ada. Shalatnya sesuai keadaan masing-masing orang. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah sambil duduk. Jika tidak mampu, maka kerjakanlah sambil berbaring.”